Foto: Prosesi Adat merebahkan Tiang Ayu di Karaton Kesultanan Museum Mulawarman (Nur/Publiknews)
Publiknews.co, Kutai Kartanegara – Suasana khidmat terasa di Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Museum Mulawarman, Jalan Diponegoro, pada Senin (29/9/2025).
Prosesi perabahan Tiang Ayu digelar sebagai penutup seluruh rangkaian Erau adat Kutai 2025.
Pamong Budaya Ahli Muda Bidang Cagar Budaya dan Permuseuman Disdikbud Kukar, M. Saidar, yang akrab disapa Deri, menjelaskan bahwa perabahan Tiang Ayu menjadi penanda resmi berakhirnya seluruh rangkaian upacara.
“Dengan direbahkannya Tiang Ayu, maka usailah seluruh kegiatan Erau yang telah berlangsung selama sepekan,” tuturnya.
Tiang Ayu sendiri direbahkan dan dibakar oleh pihak Kesultanan, di antaranya dua orang pangeran dan seorang raden, serta disaksikan langsung oleh Bupati Kukar Aulia Rahman Basri dan Wakil Bupati Rendi Solihin. Prosesi itu menutup perjalanan panjang Erau yang sejak awal berlangsung meriah sekaligus penuh makna.
Sebelum direbahkan, tiang tersebut lebih dulu melalui prosesi sawai atau tembang tawar yang dibawakan pangeran. Setelah itu, izin dimohonkan kepada Sultan agar Tiang Ayu dapat direbahkan.
“Prosesinya memang seperti itu, tidak ada tambahan ritual lain. Semua sudah diwariskan sejak dulu,” ujar Deri, yang juga merupakan bagian dari kerabat Kesultanan.
Dalam tradisi, belimbur dan mengulur naga kerap dianggap sebagai puncak kemeriahan. Namun sebenarnya, prosesi perabahan Tiang Ayu-lah yang menjadi penutup sesungguhnya. Tanpa tahapan ini, Erau belum dianggap selesai.
Dari tahun ke tahun, susunan acara Erau tidak mengalami perubahan. Sejak masa Sultan Aji Batara Agung Dewa Sakti, runtutan ritual tetap dijaga, mulai dari menjamu bubuhan, merangin, mengatur dahar, hingga belulubo pelas. Semua dijalankan sebagaimana leluhur menurunkannya.
“Tradisi ini adalah warisan budaya yang sangat berharga. Kutai Kartanegara memiliki identitas yang harus kita jaga agar tidak hilang,” imbuh Deri.
Momen perabahan Tiang Ayu bukan sekadar ritual penutup, tetapi juga pengingat tentang konsistensi masyarakat Kutai dalam menjaga adat. Kesakralannya tetap utuh karena setiap tahap dijalankan sesuai pakem tanpa perubahan.
Harapan ke depan, prosesi ini terus lestari dan diwariskan kepada generasi muda, sehingga Kutai Kartanegara tetap dikenal sebagai daerah dengan tradisi yang kaya, bermartabat, dan berakar kuat pada budaya leluhurnya. (Adv/Nr)