PUBLIKNEWS.CO, SAMARINDA – Peraturan Wali Kota Samarinda (Perwali) Nomor 61 Tahun 2019 tentang Izin Membuka Tanah Negara (IMTN) telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda, untuk menyelaraskan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM) Provinsi Kaltim tahun 2019-2023.
Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan aturan pertanahan, yang sebelumnya ada di bawah kewenangan Dinas Pertanahan, namun kini telah dilebur bersama Dinas PUPR.
“Yang pertama, sekarang Dinas Pertanahan sudah dilebur dengan PUPR, maka dianggap Perda ini sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi, karena dinasnya sudah tidak ada. Sementara di Perda itu jelas tertulis, bahwa Perda dibuat dinas terkait,” terang Wakil Ketua Komisi I DPRD Kota Samarinda Joni Sinatra Ginting baru-baru ini, saat ditemui di ruang kerjanya.
Dengan adanya peleburan dua dinas tersebut, yakni Dinas Pertanahan dengan Dinas PUPR, maka kata Ginting, Perda Nomor 61 Tahun 2019 tersebut harus digugurkan.
“Ini harus digugurkan dahulu, sehingga sistem yang digunakan akan bisa kembali ke sistem lama. Atau dibenahi IMTN yang ada, karena kesulitan masyarakat adalah proses pengurusan yang cukup lama,” bebernya.
Dengan aturan yang baru dikeluarkan tersebut, Ginting menyoroti tentang mahalnya biaya pengurusan tanah yang harus dikeluarkan oleh masyarakat, untuk meningkatkan status tanah dari IMTN ke sertifikat hak milik.
“Biaya lebih mahal dari sebelumnya, karena banyak faktor. Tim pengukur cukup mahal karena melibatkan RT, lurah, camat, Dinas Pertahanan dan Badan Pertanahan. Termasuk untuk menaikkan IMTN menjadi sertifikat, prosesnya juga lama, karena harus dari awal bukan lanjutan. Ini yang membuat masyarakat resah, karena saat menjual tanah saat sekarang prosesnya panjang. Itu hambatannya,” ujarnya.
Menurut Ginting, Komisi 1 telah berupaya untuk mengusulkan kepada Pemkot Samarinda untuk melakukan peninjauan ulang kembali terhadap Perda Nomor 2 Tahun 2019. Namun rupanya, hingga saat ini belum menerima respon dari pihak pemerintah.
“Kami sudah minta ditinjau, digugurkan supaya kembali lagi dan boleh ke SPPT lama,” katanya.
Diakuinya, pada aturan sebelumnya, memang juga ada masalah yakni tidak keakuratan titik koordinat, yang menyebabkan rawan terjadinya tumpang tindih. Tapi kata Ginting, hal itu bisa dicegah dengan pendataan yang tepat.
“SPPT yang lama ini ada minusnya, karena tidak ada titik koordinat yang menyebabkan tumpang tindih, mungkin karena adanya perubahan struktur RT, maka data ikut berubah. Tapi jika sudah ada titik koordinat, maka tidak akan tumpang tindih,” pungkasnya.
Penulis : Han