PUBLIK NEWS.CO.-SAMARINDA-Anggota Komisi III DPRD Samarinda, Menyarankan agar pemerintah mencabut izin atau memberi denda kepada pengusaha property atau perumahan dan batubara yang melakukan spekulasi atau melanggar perizinan dalam berusaha.
Hal tersebut diungkapkan saat berlangsung hearing antara puluhan pengusaha property dan perusahaan batubara yang selama ini dianggap sebagai biang kerok terjadinya banjir yang semakin parah dan menggila di Samarinda.
Fakta dilapangan diungkap Jasno bahwa beberapa pengusaha melakukan pelanggaran persyaratan usaha sebab banyak yang mematangkan lahan dulu menimbun dulu baru mengusulkan perizinan ke dinas instansi terkait.
Jadi kedepan kita harus tegas dan melarang pemberian izin, kepada tambang dan perumahan,”kata Jasno usai hearing di DPRD
” Fraksi PAN ini mengatakan harusnya pemerintah juga tegas ikuti ketentuan yang berlaku, sebab dilapangan dinas terkait kadang paham mana lokasi areal yang memenuhi ketentuan atau peraturan yang harus di kelolah dan mana areal areal yang terlarang.
Sayangnya, saat ini lagi marak pematangan lahan tak berizin, memotong gunung dan menimbun areal areal yang sesungguhnya resapan air, tetapi tidak pernah di tegur dinas terkait.
Harusnya instansi terkait lapangan, seperti Kesbang, Polpp dan dinas terkait rajin investigasi dan menindak perihal ini, tapi sayangnya menurut Komisi III hal ini jarang jarang dilakukan bahkan tidak ada reaksi, entah sengaja dilakukan pembiaran atau ada konstalasi permainan yang menguntungkan bagi oknum pejabat. “kita harus cari tau hal ini, dan komisi III akan lakukan investigasi dan turun melakukan peninjauan lapangan.
Karena kebiasaan memotong lahan dan menimbun resapan air ini sering terjadi dan dilakukan pembiaran sehingga kini, menimbulkan masalah baru sebab masyarakat luas juga kini sudah mulai ramai terpancing ikut ikutan melakukan hal yang sama, membuka perkebunan, pertanian atau membangun rumah di zona larangan karena merupakan zona filter air. Dari Catatan komisi III mengungkap, sudah marak masyarakat ikut ikutan merusak lingkungan.
“Masyarakat mungkin berfikir bahwa pengusaha saja tidak dilarang membangun dilokasi merah, kok masyarakat yang di larang. Lebih baik sekaligus. Toh tidak ada juga penertiban,” begitu Jasno menganalisa.
Pemerintah Samarinda juga diharap agar menyikapi persoalan ini secara serius. Alasan Jasno sebab tanggung jawab ada di pundaknya, pun DPRD, makanya sesuai tupoksi masing masing lembaga, DPRD mendorong agar mulai melakukan sikap dengan menginventarisir permasalahan, makanya pengusaha yang diduga penyumbang kerusakan lingkungan dan terjadinya banjir yang kian meresahkan, di panggil tanggung jawab dan sikapnya melalui hearing di DPRD.
Dari situ DRPD mulai menelusuri satu persatu apa kekurangan dan perbaikan yang harus di bicarakan bersama dengan pemerintah agar ada tindakan minimalis dampak negatif selama ini terjadi terkait keberadaan aktifitas perusahaan yang tak ramah lingkungan ini.
Dia juga menghimbau pemerintah harus segera mengambil langkah kebijakan dan solusi dari pemerintahan tingkat bawah. Mulai dari RT, Lurah dan Desa, Kecamatan hingga tekanan kepada instansi dan Dinas terkait lingkungan dan kebijakan.
“Kadang kala Walikota kan tidak tau kondisi yang terjadi dilapangan, makanya pemerintah level bawah mulai dari Dinas , Kecamatan hingga Kelurahan dan Kades serta para RT harus memberikan informasi kondisi terburuk yang merugikan warganya di lapangan,”ujarnya.
Walikota diminta pressure peran pemerintah tingkat bawah untuk tegas melakukan fungsinya, soal pematangan lahan dan pemotongan gunung yang tidak lengkap perizinannya harus di hentikan kegiatan usahanya, jangan dibiarkan membesar dan sudah sulit di hentikan karena urusannya kian ribet. “Jadi sebaiknya sebelum terlanjur dalam usahanya sebaiknya dihentikan dulu, kita periksa dulu kelayakan lingkungan dan perizinannya, kita panggil dulu para penentu kebijakan itu,”kata Jasno lagi.
DPRD tak mau merinci pihak perusahaan mana paling besar menyumbang banjir di Samarinda, tetapi pengembang perumahan, kegiatan pematangan lahan dan tambang batubara yang paling harus diberi pengetatan persyaratan izin dan kelayakan lingkungan dalam berusaha sebelum benar benar mereka beroperasi. Masalahnya sikap sikap detail kelayakan itu yang tidak ditemukan di sejumlah instansi terkait dalam memberikan rekomendasi usaha bagi perusahaan.
Persoalan daerah sekarang menurut Jasno karena soal tambang IUP nya diterbitkan di kementerian ESDM, sedangkan pusat memutuskan dari rekomendasi dinas daerah terkait perizinan, ada kendala untuk menganulir izin IUP pertambangan, karena kewenangan pusat, tetapi dampaknya sangat merugikan warga Samarinda, makanya DPRD Samarinda berencana akan melakukan diskusi dengan kementerian ESDM pusat.
Lantaran kewenagan pusat yang berkuasa maka kewenangan daerah satu satunya harus fokus ke dampak lingkungan. Untuk itu OPD pemerintah kota harus di ajak bicarakan soal ini, dan komisi III akan kejar hal ini ke pada pihak pihak terkait.
Dari hasil hearing para OPD terkait banyak yang bertolak belakang fakta dilapangan. Umumnya para Dinas terkait berbicara normatif dan ideal berdasarkan aturan, tetapi semua itu hanya teori sebab menurutnya, dilapangan apa yang diungkapkan para OPD hampir seluruhnya dilanggar.
Soal pembangunan perumahan atau proferti misalnya, banyak di temukan fakta membuka lahan terlebih dahulu baru mengajukan perizinan, AMDAL dan izin lokasi.
Kondisi itulah yang disebut Komisi III sebagai bursa spekulasi antara oknum dinas terkait dan pengusaha di lapangan.
Halnya dengan izin konsesi lahan batu bara, keluasan yang di beri kewenangan keluar dari zona seharusnya. Batu bara yang di produksi berlebih dari besaran target lahan yang diberikan, semua itu di duga karena produksi lahan batunya di lakukan diluar areal yang sebenarnya.. “Intinya ketegasan dan kontroling dinas terkait tidak berjalan dan tidak tegas,”tambah Jasno
Penulis ** Anisa